Oleh: Salma Ibrahim
Sekolah
telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kita sebagai manusia.
Semacam memiliki ketidaksadaran kolektif –meminjam istilah Jung-, setiap
kita pada umumnya melewati tahapan sekolah begitu saja, merasa bahwa tahapan
tersebut memang sudah seharusnya dilalui tanpa harus mempertanyakan kembali
alasannya. Saya termasuk orang yang juga mengalami hal tersebut. Sejak usia 4
tahun, saya telah disekolahkan di TK. Selanjutnya secara berjenjang saya masuk
SD, SMP, SMA, hingga kini ada di bangku kuliah. Tak pernah sekalipun saya
mempertanyakan, apalagi menolak untuk bersekolah. Saya berfikir bahwa setiap
orang memang harus sekolah, karena hanya orang bodohlah yang tidak sekolah. Dan
orang menjadi bodoh karena tidak sekolah. Padahal, apakah benar seperti itu?
Pandangan
saya tentang sekolah berubah ketika saya dipertemukan dengan kehidupan yang
sangat berbeda dengan saya. Sekelompok masyarakat yang tinggal di pinggir kali
Code. Bagi saya, ini sebuah keberuntungan karena pertemuan itu membuka pikiran
saya yang selama ini ternyata masih sangat sempit. Dari sekitar 220 juta
penduduk Indonesia, sepertinya saya masih belum mengenal dengan baik rata-rata
masyarakat Indonesia. Saya selama ini menikmati keberadaan saya di sisi
kanan-meski bukan yang paling ujung- dari kurva normal masyarakat Indonesia.
Sebagian besar masyarakat Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan. Dan
permasalahan yang dihadapi sebegitu kompleksnya. Salah satu permasalahan yang
turut menghantui adalah tentang sekolah.
Tidak
semua masyarakat dapat bersekolah dengan mudah, tinggal mendaftar pada tahun
ajaran baru, melengkapi persyaratan, dan masuk sekolah. Dalam tulisan ini saya
ingin menceritakan sepenggal kisah tentang seorang anak dari pinggir kali Code
yang dalam usianya yang belum dewasa, dia sudah harus merasakan dan dituntut
untuk menempati posisi sebagai orang dewasa. Bagaimana dia pada suatu malam
mengeluarkan kalimat dalam suara lirih,”Capek, Mbak… Tadi
di sekolah banyak pelajarannya…” Bagaimana sekolah dalam pandangan seorang
Jepi-nama anak tersebut- yang selama ini tidak pernah dipertanyakan oleh
pengamat maupun ahli pendidikan.
Sama
sekali tidak ada maksud dari saya untuk melakukan penilaian sepihak, baik
tentang kemiskinan maupun tentang sekolah. Saya hanya ingin mencoba
menyampaikan bahwa ada seorang anak bernama Jepi dengan kisahnya tersendiri.
Kisah Jepi mungkin tidak dapat mewakili kisah anak kebanyakan yang seusia
dengannya. Akan tetapi, kisah Jepi juga berhak didengar dan diketahui. Agar
masyarakat tidak terbuai dengan kemapanan pendidikan yang tampak di luar. Masih
banyak yang perlu dikritisi dan dibenahi bersama. Jepi mungkin tidak dapat
bercerita sendiri. Oleh karena itu, saya yang akan bercerita. Cerita ini
didasarkan pada kondisi objektif Jepi, tanpa ditambah atau dikurangi. Pada
akhir tulisan, saya menutup tulisan ini dengan mengutip pendapat dari beberapa
teman maupun penulis tentang solusi terhadap pendidikan anak pinggir kali
seperti Jepi.
Pendidikan dan sekolah
Dua
kata, pendidikan dan sekolah biasanya digunakan dalam kalimat dan konteks yang
serupa dengan makna yang tak jauh beda. Akan tetapi sesungguhnya dua kata
tersebut memiliki makna yang berbeda secara substantif. Salah satunya bahkan
memiliki akar sejarah tersendiri yang tidak dapat dilepaskan begitu saja. Meski
demikian, keduanya saling berkaitan erat sehingga untuk memiliki pemahaman yang
utuh, haruslah memahami keduanya dengan baik. Pemahaman terhadap “pendidikan”
dan “sekolah” juga menjadi penting dalam tulisan ini agar tidak terjadi
perbedaan penafsiran dan interpretasi.
Pendidikan
berasal dari kata didik yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan
sebagai memelihara
dan memberi latihan, ajaran, bimbingan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran[2]. Beberapa tokoh menyebutkan pengertian pendidikan yang
berbeda-beda. Ki Hajar Dewantara menyebutkan bahwa pendidikan merupakan proses
perubahan individu menjadi dewasa melalui proses pembelajaran, pembiasaan, dan
pengajaran[3]. Sementara Paulo Freire berpendapat bahwa pendidikan
merupaan proses liberasi atau pembebasan pikiran[4]. Yang pertama menekankan bahwa tujuan akhir pendidikan
adalah menjadi dewasa. Dewasa berarti mampu berdikari, menjalani kehidupan,
mengatasi permasalahan yang ditemui dengan cara yang tepat. Yang kedua
menitikberatkan pada pemahaman bahwa manusia merupakan individu yang merdeka,
maka pendidikan merupakan upaya pembebasan pikiran individu yang berorientasi
pada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri. Keduanya memiliki
makna yang sama-sama positif. Jika bisa disarikan maka tujuan pendidikan
berdasarkan kedua tokoh tersebut adalah menjadikan manusia menjadi dewasa
melalui proses pembebasan pikiran dan pengenalan realitas diri.
Setelah
jelas tentang makna pendidikan, kita beralih ke makna sekolah. Saat ini kita
mengenal sekolah sebagai nama institusi yang bergerak dalam pendidikan formal,
biasanya diidentikkan dengan gedung dengan beberapa kelas berisi meja, kursi
dan perlengkapan pendukung seperti, papan tulis, buku pelajaran, alat tulis,
dll. Akan tetapi, sebelum dipahami seperti demikian, sekolah memiliki akar
sejarah yang cukup panjang dan jauh, yaitu sejak zaman Yunani kuno. Kata
sekolah sendiri berasal dari bahasa latin, skhole, scola, scolae atau schola
yang berarti waktu luang atau waktu senggang[5].
Proses
pergeseran makna sekolah dari “waktu luang” menjadi “institusi atau bangunan
tempat terjadinya proses belajar-mengajar” terjadi dalam waktu yang panjang.
Singkatnya, dahulu orang-orang Yunani senang mengisi waktu luang mereka dengan
mendatangi orang yang dianggap pandai untuk belajar. Kebiasaan tersebut
diturunkan kepada anak-anak mereka. Lama kelamaan semakin banyak orang tua yang
mempercayakan ankanya untuk belajar kepada orang pandai tertentu. Maka skolae
pun dikembangkan di tempat yang ditentukan, dengan atuan-aturan yang lebih
tertib, dan imbalan jasa dari para orang tua. Perkembangan terus berlanjut
hingga muncul jenjang pendidikan dan kurikulum di dalam sekolah. Sejak saat
tersebut, makna sekolah menjadi bergeser menjadi institusi atau tempat
belajar-mengajar.
Apakah
makna sekolah di Indonesia sama dengan di Yunani? Faktanya, perkembangan
pendidikan memang tidak hanya terjadi di Yunani. Bangsa-bangsa lain seperti
Cina, India, maupun Arab memiliki sejarah pendidikan tersendiri. Akan tetapi
sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia memiliki akar sejarah dari
Yunani dan bukan dari bangsa lain dikarenakan penerapannya oleh Belanda. Sistem
pendidikan ala Yunani tersebut diterapkan sejak diberlakukannya politik etis
oleh Belanda di masa kolonial.
Tentunya
definisi “sekolah” di Indonesia terus berkembang terutama pasca proklamasi
kemerdekaan Indonesia. Perkembangan paling kontemporer adalah definisi bahwa
sekolah adalah lembaga yang membantu individu untuk mengembangkan dirinya.
Seperti dikatakan oleh Paulo Freire bahwa pendidikan adalah suatu praksis[6]. Jika sekolah mengemban fungsi pendidikan, berarti sekolah
pun merupakan suatu praksis. Di dalamnya harus terjadi proses refleksi dan aksi
yang berkelindan.
Menengok Kehidupan di Pinggir Kali Code
Orang
yang pernah tinggal di Jogja, tidak mungkin tidak mengenal Kali Code. Selain
sering dijadikan tempat nongkrong anak-anak muda Jogja, terdapat hal menarik
dari Kali Code. Di pinggir kali terdapat, perumahan padat penduduk hasil kerja
sosial Romomangun. Daerah yang dulunya sama sekali tidak layak huni, kini
menjadi lebih tertata, meskipun belum sesuai dengan gambaran ideal tempat
tinggal seharusnya.
Masyarakat
yang tinggal di daerah Kali Code biasanya merupakan pendatang. Dikarenakan
sulitnya mencari tempat tinggal di Jogja, ditambah penghasilan yang minim,
mereka memilih untuk tinggals di rumah petak kecil di pinggir kali. Setiap
tahun, jumlah penduduk di Kali Code terus bertambah sehingga tak jarang satu
petak rumah dihuni oleh dua atau tiga KK.
Jangan
dibayangkan rumah petak di sini seperti di perumahan RSS (Rumah Sangat
Sederhana). Rumah yang ada di Code, disekat oleh papan, dan hanya terdiri dari
satu ruang ditambah dapur. Ruangan tersebut berukuran 2,5 x 2 meter dan
digunakan untuk semua kegiatan, baik tidur, belajar, dan aktivitas lainnya.
Dapurnya hanya berukuran 1 x 2 meter. Mencuci, dilakukan di sumur bersama. Kamar
mandi juga digunakan bersama.
Mata
pencaharian masyarakat di sini bermacam-macam, mulai dari pedagang keliling,
loper koran, pemulung, pengepul, dan lain-lain. Kondisi sosio-ekonomi
masyarakat Code bervariasi mulai dari rendah hingga tinggi. Ada yang makan
sehari tiga kali saja tidak mampu. Tetapi, ada pula yang bahkan memiliki mobil.
Mobil mereka diparkir di dekat jalan dikarenakan sempitnya rumah.
Profil Jepi[7]
Jepi
merupakan salah seorang penghuni rumah petak di pinggir Kali Code. Tanggal 13
Juni 2009, usianya genap 10 tahun. Saat ini, dia duduk di bangku kelas lima
sekolah dasar. Di sebuah rumah petak kecil paling ujung dari rumah-rumah
lainnya, Jepi tinggal bersama ayah, ibu, dan tiga orang kakaknya. Jepi
merupakan anak bungsu di keluarga tersebut. Anak pertama adalah seorang
perempuan yang sudah menikah dan memiliki satu anak, tinggal di satu sisi
terpisah sekat dari rumah tersebut. Anak kedua, seorang laki-laki bernama Kuat.
Seharusnya Kuat duduk di kelas tiga SMP, akan tetapi dikarenakan Kuat malas
sekolah dan sering membolos, maka sekarang ini tidak jelas apakah dia masih
melanjutkan sekolah atau tidak. Aktivitasnya sehari-hari hanya bermain. Anak
ketiga bernama Wanti, perempuan yang baru saja tamat SD, lulus dengan nilai
mendekat batas kelulusan.
Keluarga
Jepi berada pada kategori rendah dalam strata socioeconomic status.
Satu petak rumahnya dibagi menjadi tiga sekat dan dihuni oleh dua KK (kepala
keluarga). Ayah berprofesi sebagai tukang becak. Sementara ibu, jepi, dan wanti
berjualan koran di korem (sebutan mereka untuk perempatan Gramedia).
Setiap
hari, sepulang sekolah Jepi dan kakaknya, Wanti langsung bekerja menjajakan
koran. Tak jarang mereka baru pulang kembali ke rumah selepas maghrib. Setelah
itu, jika tidak terlalu lelah, mereka masih harus belajar dan mengerjakan PR
(pekerjaan rumah) untuk sekolah keesokan harinya.
Jepi
termasuk anak yang pintar, terutama dalam mata pelajaran Matematika. Jepi telah
mampu menyelesaikan perhitungan matematika empat digit. Setiap hari rabu malam
dan jumat malam, beberapa mahasiswa (2-3 orang) datang ke rumah Jepi. Di sana,
Jepi, kakaknya, dan anak-anak lain di sekitar rumah Jepi belajar bersama dengan
ditemani kakak-kakak mahasiswa.
Mahasiswa-mahasiswa
tersebut mengajar di sana atas inisiatif pribadi dan sukarela, mereka tidak
membawa organisasi, lembaga, dan penyokong dana apapun. Mereka memang sering
membawakan buku-buku untuk anak-anak di sekitar rumah Jepi. Buku-buku itu
bisanya merupakan sumbangan dari teman-teman mahasiswa lainnya atau dosen
secara pribadi.
Jepi
sendiri terkadang menyambut kakak-kakak mahasiswa dengan gembira dan
bersemangat, tetapi lebih sering dengan suara kelelahan dan semangat yang
tinggal sisa-sisa. Jepi sebenarnya senang ketika bisa bermain sambil belajar
bersama teman-temannya. Terlihat dari senyum yang sering tersungging di
wajahnya ketika sedang seru-serunya bermain dan belajar. Akan tetapi, dia
sebegitu lelahnya sehingga terkadang memunculkan kalimat dalam nada kelelahan.
Pernah suatu ketika saya mengajak Jepi untuk belajar Bahasa Indonesia. Jepi
hanya berkata,”Kesel, Mbak…mau nang sekolah akeh pelajarane…” (Lelah, Mbak. Tadi di sekolah pelajarannya banyak).
Sementara orang tuanya selalu menyuruhnya belajar, dia yang terlalu lelah hanya
mampu mengeluh di dalam hati. Apakah bisa dia mengeluh?
Segala
sesuatu dalam kehidupan Jepi berjalan sama, tidak pernah berubah. Perbedaan dari
tiap harinya hanyalah terkadang koran jualannya cepat habis terjual dan
terkadang tidak. Tak pernah terlintas di benak Jepi tentang cita-cita.
Cita-cita baginya adalah bisa makan sehari tiga kali. Memang, terkadang muncul
keinginan dalam hati Jepi untuk bisa seperti anak-anak lainnya yang memiliki
banyak mainan. Pernah juga terlintas untuk bisa naik pesawat. Akan tetapi, Jepi
tak pernah sanggup membayangkan kapan dia dapat menggapai cita-citanya
tersebut.
Berawal dari kebakaran
Dulunya
keluarga Jepi tidak tinggal di bantaran Kali Code bagian bawah. Keluarga mereka
awalnya tinggal di daerah Code bagian atas. Dengan pekerjaan yang sama (tukang
becak dan penjual koran perempatan), mereka hidup selayaknya penduduk yang
lain.
Saat
itu Jepi sudah masuk sekolah dasar. Tiba-tiba terjadi kebakaran, rumah dan
barang-barang mereka habis terbakar. Beruntung mereka mendapat bantuan dari
Departemen Sosial dan beberapa orang yang kenal dan peduli dengan mereka.
Bantuan yang diberikan sebagian besar berupa sandang pantas pakai, meski
sebagian besar tidak dapat dipakai oleh Jepi karena kebesaran.
Selanjutnya
keluarga Jepi pindah ke Code bagian bawah. Dengan kondisi ekonomi pas-pasan,
tak ada pilihan lain bagi mereka untuk pindah. Satu-satunya tempat yang bisa
dibangun rumah tanpa harus membayar adalah Code. Mereka membuat bangunan baru
dari papan dan kayu di salah satu ujung.
Sebagai
orang baru di daerah tersebut, masyarakat sekitar tidak langsung dapat menerima
mereka sebagai tetangga baru. Hanya beberapa deret rumah yang sering
berinteraksi dengan keluarga Jepi dari sekian banyak keluarga yang sama-sama
tinggal di Ledok Code RT 18 tersebut.
Code
tempat Jepi dan keluarganya tinggal berada di dekat salah satu masjid besar di
jogja, Masjid Syuhada. Remaja Masjid Syuhada sering mengadakan kegiatan
keagamaan di daerah sekitar, termasuk sekitar rumah Jepi. Kegiatannya berupa
pengajian rutin dua kali seminggu, baik untuk orang tua maupun anak-anak.
Tempatnya bergilir di rumah-rumah warga.
Jepi dan sekolah
Jepi
bersekolah di sebuah sekolah dasar bernama SD Bhineka, sebuah sekolah swasta
yang berlokasi dekat pasar Kranggan. Orang tua Jepi menyekolahkannya di sekolah
tersebut mengikuti jejak kakaknya yang juga mengenyam pendidikan di Bhineka.
Bhineka tidak hanya memiliki SD, melainkan juga SMP dan SMA. Bhineka memang
bukan sekolah yang populer. Terbukti jumlah siswa di setiap jenjangnya tak
lebih dari enam orang. Bahkan jumlah siswa di kelas Jepi hanya empat orang.
Mengapa
SD Bhineka? Awal mula orang tua Jepi mengenal SD Bhineka adalah dari seorang
pedagang sayur langganannya yang juga seorang guru di SMP Bhineka. Saat masih
tinggal di Code bagian atas, ibu guru tersebut menanyakan apakah kakak Jepi
sudah sekolah atau belum. Karena belum bersekolah, maka ibu guru Bhineka
tersebut menawarkan untuk bersekolah di Bhineka saja. Tanpa pikir panjang,
apalagi karena sudah ada yang bersedia membantu proses pendaftarannya, ibu Jepi
mengiyakan.
Mulailah
sejarah sekolah keluarga Jepi dimulai. Karena menggunakan perantara guru SMP
Bhineka yang mengetahui kondisi ekonomi keluarga Jepi, maka setiap kali
anak-anak keluarga ibu Jepi masuk sekolah, biaya yang diwajibkan hanyalah SPP
sebesar Rp 50.000,-. Tak ada uang gedung maupun uang seragam. Meski tak ada
pungutan lain, tetap saja nominal di atas besar bagi keluarga Jepi.
Memang
dilematis. Awalnya, sekolah di Bhineka menjadi sebuah keberuntungan. Akan
tetapi, sesudah masuk ke Bhineka, siswanya akan sulit untuk melanjutkan ke
sekolah lainnya. Pihak sekolah cenderung menganjurkan siswanya melanjutkan di Bhineka
kembali. Nilai yang rendah biasa menjadi alasan utama. Di samping itu, menjaga
nama baik Bhineka juga sering ditambahkan dalam alasan. “Kalau tidak berbohong,
tidak akan bisa pindah dari Bhineka,” tutur ibu Jepi dalam bahasa Jawa karma.
Hal tersebut menjadi penyebab Jepi dan kakak-kakaknya tidak dapat pindah ke
sekolah lain yang lebih baik dan lebih terjangkau.
Lantas,
seperti apa sekolah Jepi? Jepi diajar oleh lima orang guru yang bergantian
mengajar berdasarkan pembagian hari, bukan berdasarkan mata pelajaran. Di
kelas, disediakan buku paket yang bisa digunakan selama proses belajar mengajar
di kelas dan dikembalikan kembali sesudah pelajaran usai. Karena tidak dapat
dibawa pulang, maka Jepi tidak bisa belajar di rumah karena tidak ada buku
paket.
Mata
pelajaran favorit Jepi adalah Bahasa Inggris. Alasannya sederhana. Karena Jepi
merasa paling bisa mengerjakan soal bahasa inggris dan mendapatkan nilai bagus
di pelajaran tersebut. Meski Bahasa Inggris merupakan favoritnya, ternyata
belum banyak manfaat yang dirasakan Jepi dari Bahasa Inggris kecuali Jepi
sering bermain tebak memori kata-kata Bahasa Inggris.
Saat
istirahat sekolah, biasanya Jepi akan pergi ke kantin dan membeli jajanan. Jika
ujian semester usai, Jepi dan teman mengisi waktu kosong menjelang penerimaan
rapor dengan bermain basket. Setidaknya basket itulah yang bisa disebut sebagai
kegiatan ekstrakurikuler sekolah Bhineka.
Belajar, bekerja, dan tidak bermain
Jepi
merupakan anak yang rajin. Jepi tidak hanya rajin berangkat ke sekolah, tetapi
juga rajin membantu orang tua dengan berjualan koran. Dari pagi Jepi sudah
harus bersiap untuk berangkat sekolah pada jam 06.30. Jepi berangkat ke sekolah
dengan berjalan kaki. Sesampainya di sekolah Jepi mengikuti pelajaran di
sekolah. “Bahkan, meskipun sakit, Jepi tetap memaksa masuk sekolah. Dia takut
ketinggalan pelajaran,” begitu kata ibunya. Jepi hanya diam saat ibunya berkata
demikian.
Di
sekolah guru akan mengajar dengan menggunakan buku paket, menulis di papan
tulis dan meminta siswa menyalinnya, menjelaskan materi pelajaran serta
memberikan soal dan pertanyaan. Jepi menyebutkan bahwa ada pelajaran
ketrampilan. Dalam pelajaran tersebut, siswa diminta membuat rumah dari kertas
karton, membuat bentuk-bentuk dari kertas lipat, atau menggambar.
Sekolah
Jepi usai pada pukul 11.00. Biasanya jam 12.00 Jepi sudah siap di perempatan
untuk menjalankan pekerjaannya. Jepi tdak merasa keberatan harus berjualan
bersama ibu dan kakaknya. Dia sudah menganggap berjualan koran sebagai bagian
dari rutinitas sehari-hari di samping kesadaran bahwa berjualan koran sama
dengan membantu orang tuanya.
Jepi
biasa membaca koran yang dibawanya terlebih dahulu sebelum koran tersebut
dijualnya. Bagian kesukaannya adalah cerita bergambar dalam bentuk kartun.
Maka, tak heran jika terkadang Jepi tahu berita-berita yang sedang banyak
dibicarakan.
Jika
terik matahari terasa dangat garang hingga Jepi merasa lelah karena kepanasan,
maka Jepi akan duduk beristirahat di teras kantor Golkar yang berada di
salah satu sudut perempatan. Makan siang juga biasa dilakukan di tempat
yang sama. Setelah kelelahan berkurang, Jepi akan kembali bekerja menjajakan
koran.
Jepi,
kakak dan ibunya pulang setelah koran habis terjual. Tak tentu kapan koran
habis terjual. Terkadang sore hari koran sudah habis, terkadang sampai matahari
tenggelam koran masih tersisa di tangan. Bergantung pada berita yang sedang
terbit, semakin menarik beritanya, semakin cepat dan banyak koran yang terjual.
Meski
masih duduk di bangku SD, Jepi sudah tahu secara detil tentang proses berjualan
koran. Jepi tahu harga masing-masing koran dari warung atau agen koran. Jepi
tahu bahwa jika mengambil koran dari agen, maka mereka harus membayar terlebih
dahulu sehari sebelumnya, sedangkan jika mengambil di warung tidak perlu
demikian. Jepi pun tahu bahwa uang yang didapat jika mengambil koran dari
warung lebih kecil daripada mengambil dari agen. Jepi tahu bahwa dari 10
eksemplar koran hanya satu eksemplar yang boleh dikembalikan jika tersisa.
Ada
kalanya di tengah-tengah berjualan Jepi dibawa ke tempat pembinaan Departemen
Sosial di daerah Pingit untuk diajarkan ketrampilan tertentu lewat penjaringan.
Beberapa pekan ini misalnya, Jepi diajarkan melukis. Jepi ikut saja dan tidak
menolak. Akan tetapi, terkadang Jepi kurang begitu suka karena di sana dia
tidak mendapat makan, sementara dia belum sempat makan sebelum dibawa pergi.
Setelah selesai diajarkan ketrampilan, Jepi diantarkan kembali ke perempatan.
Selanjutnya,
jika koran sudah habis terjual, Jepi, kakak dan ibunya berjalan pulang bersama-sama.
Sesampainya di rumah, pekerjaan Jepi belum selesai. Jepi masih harus
mengerjakan PR dari sekolah yang hampir selalu ada setiap hari. Bahkan, liburan
semester ganjil pun banyak PR yang harus dikerjakan.
Bagaimana
Jepi tidak lelah menjalani rutinitas yang padat semacam itu? Kelelahan Jepi
tampak secara nyata dari fisik dan bicaranya. Tak ada aktivitas bermain di
dalam kesehariannya. Bermain hanya ada ketika kakak-kakak mahasiswa datang
untuk menemani belajar anak-anak code. Justru di situlah Jepi merasa sedang
bermain, karena tak ada kegiatan berat di situ. Jepi boleh melakukan apapun
yang ingin dilakukan dengan barang-barang yang ada.
“Tadinya
kami ingin membantu mereka mengerjakan PR. Tapi, lama kelamaan kami lebih
memilih untuk membebaskan mereka bersenang-senang dengan kertas, kartu
bergambar, maupun benda-benda lain yang kami bawa,”ungkap Levi, salah seorang
mahasiswi yang secara rutin datang ke code.
Jepi
dengan malu-malu berkata bahwa dia senang sekolah karena ingin belajar. Belajar
di sini cenderung pada makna sempit, yaitu belajar pelajaran yang ada di
sekolah. Begitulah rutinitas Jepi: belajar, bekerja, dan kadang-kadang bermain.
Sekolah dan Pendidikan anak Girli
Jepi
merupakan satu dari sekian potret anak girli. Jepi tidak akan merepresentasikan
kehidupan keseluruhan anak Girli. Setiap anak bisa jadi memiliki dinamika yang
berbeda dalam kehidupannya, khususnya dalam hal pendidikan. Tetapi, setidaknya
kisah Jepi dapat menjadi contoh kecil dari gambaran besar kehidupan Girli.
Setidaknya
ada dua sudut pandang yang dapat digunakan dalam menilai sekolah dan pendidikan
anak Girli. Pertama, melalui persepsi subjek, dalam hal ini Jepi. Kedua,
melalui penilaian terhadap pencapaian tujuan pendidikan yang diemban sekolah.
Sudut
pandang pertama adalah persepsi subjek. Semua orang mengakui bahwa pendidikan
penting. Akan tetapi, tidak semua orang sependapat bahwa sekolah penting. Dalam
berbagai kesempatan, orang berebut suara mengemukakan pendapat tentang
pendidikan dan sekolah. Jarang sekali yang mencoba bertanya kepada si anak,
yang menjalankannya. Maka dari itu, suara Jepi patut didengarkan.
Dalam
cerita di atas, tampak bahwa Jepi rajin ke sekolah, tidak ada kata-kata tentang
ketidaksukaan yang keluar dari mulut Jepi tentang sekolah. Apakah itu berarti Jepi
dan sekolahnya baik-baik saja? Kita tidak dapat secepat itu mengambil
kesiimpulan.
Terdapat
faktor-faktor yang berpengaruh dalam membentuk persepsi individu, salah satunya
adalah nilai dan norma. Keluarga Jepi memiliki nilai dan norma tertentu yanga
dianut. Orang tua Jepi meyakini bahwa sekolah merupakan sebuah keharusan yang
harus dijalankan anak-anaknya. Anak yang baik adalah anak yang rajin sekolah
dan pintar di sekolah. Sebaliknya anak yang tidak rajin dan pintar bukanlah
anak yang baik. Norma masyarakat juga mengukuhkannya melalui pandangan bahwa
sesorang yang bersekolah lebih baik daripada yang tidak sekolah.
Nilai
dan norma yang sama berpengaruh pada diri Jepi. Semacam harapan sosial (social desirability), Jepi akan selalu berkata senang sekolah. Karena
jika Jepi berkata lelah sekolah maka berarti Jepi melawan arus, menentang
harapan sosial, sehingga akan dinilai tidak baik oleh orang tuanya dan
masyarakat. Anak seusia Jepi menilai baik dan buruk berdasarkan pandangan orang
tua. Jika orang tua berkata baik, maka bagi Jepi juga baik. Jika orang tua
berkata buruk, Jepi pun akan berpandangan demikian[8].
Jika
ucapan sudah lemah validitasnya, maka cara selanjutnya untuk mengetahui
persepsi seseorang adalah melalui perilaku yang tampak. Dalam kesehariannya,
Jepi tidak menunjukkan antusiasme yang besar terhadap aktivitas sekolahnya.
Jepi menjalaninya dengan biasa-biasa saja. Antusiasme dapat terlihat dari usaha
dalam melakukan aktivitas, ekspresi wajah, dan durasi dalam melakukan
aktivitas. Pada Jepi, antusiasme tersebut tidak terlihat. Antusiasme justru
terlihat pada saat belajar bersama kakak-kakak mahasiswa. Maka, dapat
disimpulkan bahwa persepsi Jepi terhadap sekolah adalah sebatas kewajiban yang
harus dijalankan, bukan sesuatu yang benar-benar diinginkan dalam arti yang
menyenangkan.
Sudut
pandang kedua adalah pencapaian tugas pendidikan yang diemban sekolah. Seperti
sudah saya sampaikan di awal, tujuan pendidikan adalah menjadikan manusia
menjadi dewasa melalui proses pembebasan pikiran dan pengenalan realitas diri.
Apakah tujuan tersebut tercapai dengan Jepi bersekolah? Mari kita lihat
bersama.
Jepi
bersekolah di seklah dasar swasta dengan siswa dan guru yang minim, dan masih
harus membayar SPP dalam jumlah yang tidak kecil bagi mereka. Maka, sejak awal
Jepi bersekolah, dia sudah menghadapi kesulitan keuangan. Untuk bersekolah,
Jepi dan keluarganya harus bekerja lebih keras mencari uang. Jepi harus ikut
berjualan koran untuk menambah pemasukan.
Selanjutnya
mengenai proses di dalam sekolah itu sendiri. Apakah terdapat proses pembebasan
pikiran dan pengenalan realitas diri di dalamnya? Tampaknya belum. Terlihat
dari tidak adanya perubahan pada diri Jepi dari waktu ke waktu, kecuali semakin
banyak istilah asing yang jauh dari kehidupannya diketahuinya. Tujuan
pendidikan adalah menjadikan individu dewasa. Dewasa berarti menjadi mandiri
dan mampu melakukan perubahan secara terus menerus kea rah lebih baik pada
dirinya. Jepi mungkin masih dalam proses tersebut. Tetapi, kakaknya yang sudah
menyelesaikan proses sekolahnya pun belum mampu mencapai kedewasaan tersebut.
Kehidupan keluarga Jepi tetap stagnan. Sekolah Jepi belum mencapai tahapan
pendidikan yang substansial, belum mencapai praksis.
Tawaran Pendidikan Alternatif bagi Anak Girli
Di
saat usaha pemerintah lewat program dan kebijakan sekolah formalnya belum
mencapai optimal, masyarakat mulai mengupayakan sendiri kebutuhannya. Kalangan
aktivis peduli pendidikan menginisiasi dengan membentuk model pendidikan
alternatif. Bahkan bisa dikatakan saat ini, pendidikan alternatif sedang
mendapat perhatian besar masyarakat.
Beberapa
contoh pendidikan alternatif di Indonesia antara lain SD Eksperimen Mangunan,
Qaryah Thayyibah, dan Sekolah Rimba. Ketiganya memiliki karakteristik
masing-masing yang berbeda satu sama lain. Akan tetapi, ketiganya memiliki
kesamaan dalam hal substansi. Ketiganya berusaha menyentuh substansi dari
tujuan pendidikan, disesuaikan dengan konteks yang ada. SDE Mangunan yang
diprioritaskan untuk anak-anak miskin, menyesuaikan kondisi mereka. Qaryah
Thayyibah memberdayakan potensi desa dalam menjalankan pendidikan. Sekolah
rimba memiliki kurikulum khusus sesuai kebutuhan anak-anak rimba.
Konkretnya,
kita dapat menerapkan sistem pendidikan alternatif untuk anak-anak Girli. Hal
ini menjadi alternatif solusi ketika sekolah umum baik negeri maupun swasta
sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan mereka. Kurikulum yang diterapkan
disesuaikan dengan kebutuhan anak Girli. Metode pengajaran menyesuaikan kondisi
lingkungan dan karakteristik anak Girli. Dengan begitu, anak-anak seperti Jepi
bisa merasakan manfaat pendidikan yang sesungguhnya dan kata-kata seperti “Aku
lelah” tidak akan lagi ada.
Tentu
harapan dan solusi tersebut tidak dapat muncul dengan sendirinya. Siapa yang
bertanggung jawab untuk memulainya? Setiap masyarakat yang mengetahuinya
bertanggung jawab untuk memulainya. Tanpa ada gerakan untuk berubah, perubahan
tersebut hanya akan menjadi angan dan bayangan yang tidak nyata.
[1] Ketidaksadaran kolektif adalah istilah yang digunakan
Jung, seorang tokoh psikologi dalam menjelaskan keyakinan yang dimiliki oleh
kelompok masyarakat. Keyakinan ini muncul secara tidak sadar, diturunkan dari
generasi ke generasi melalui belief atau value.
[2] Drs. Suharso & Dra. Ana Retnoningsih.
(2005). Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Semarang: CV. Widya Karya.
[3] Definisi ini saya peroleh pertama kali dari seorang
pemerhati pendidikan, dapat dibaca historinya dalam tulisan Agus Suwignyo.
“Kurikulum dan Politik (Kebijakan) Pendidikan” dalam Forum Mangunwijaya (2008).
Kurikulum yang Mencerdaskan. Visi Pendidikan 2030 dan Pendidikan Alternatif.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
[4] Paulo Freire. (2002). Politik Pendidikan: Kebudayaan,
Kekuasaan, dan Pembebasan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
[5] Bisa dibaca secara ringkas dalam Roem Topatimasang.
(2004). Sekolah
itu Candu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[6] Pemahaman lebih mendalam tentang praksis yang
dikemukakan Paulo Freire dapat dibaca dalam Denis Collins. (1999). Paulo Freire: Kehidupan, Karya, dan
Pemikirannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[7] Data diperoleh dari hasil observasi partisipatif dan
wawancara tidak terstruktur kepada beberapa orang, yaitu Jepi, ibunya, dan dua
orang mahasiswa yang rutin datang ke Code. Pengumpulan data dilakukan pada
bulan Mei-Juni 2009.
[8] Teori Psikologi, Penalaran Moral Kohlberg menjelaskan
tahapan-tahapan penalaran moral manusia berdasarkan perkembangan kognitifnya.
Anak usia sekolah dasar pada umumnya berada pada tahap penalaran konvensional,
yaitu penalaran moral yang dipengaruhi konformitas terhadap norma orang lain,
dalam kasus Jepi, orang tuanya. Orientasi Jepi adalah menjadi anak baik (good-child orientation).
0 komentar:
Mohon beri komentar anda untuk kemajuan blog kami, dan beri komentar yang baik dan sopan. Terimakasih.